Rabu, 14 Oktober 2009

Autobiografi Ayahanda Drs. H. Imam Hanafi

Disini aku coba menyajikan autobiografi ayahandaku yang ditulis oleh beliau beberapa waktu sebelum beliau wafat, aku ingin orang-orang dapat mengetahui riwayat sejarah hidup beliau ... semoga bermanfaat ...



Motto

Tinggalkan budaya yang engkau miliki sebelum engkau meninggal.

Pengantar

Merenung waktu sakit terkenang ungkapan pakar budaya mengatakan budaya lisan dari leluhur akan punah kalau pemiliknya meninggal sebelum meninggalkan sesuatu untuk anak cucu.

Berikut akan ditulis autobiografi Drs. H. I. HANAFI yang terbagi dari:

  1. Asal Usul
  2. Riwayat Perjalanan Hidup
  3. Riwayat Pekerjaan

Data/Informasi:

    1. Informan

a. Orang Tua

b. Kaum Kerabat

    1. Peninggalan Tertulis
    2. Kenangan sendiri

Nama/Penulis selanjutnya diganti dengan kata”Ego”

Selain autobiografi ditulis juga budaya lisan Peninggalan Nenekmu.

Bengkulu, 1 September 2000


AUTOBIOGRAFI DRS. H. I. HANAFI

A. ASAL USUL

Riwayat hidup Ego tidak dapat dipisahkan dari riwayat hidup orang tua Ego sendiri dan merupakan mata rantai yang tak terputus berkesinambungan sampai ke anak cucu di kemudian hari, oleh karena itu Ego mulai ceritanya dari asal usul Bapak semasa kecil bernama Misan, setelah dewasa bernama Rasad dan akhirnya Haji Rasyad. Beliau berasal dari suku sunda yang bermukim di kampung Ganjur Kecamatan Saketi Kabupaten Pandegelang Banten.

Ketika masih kecil Bapaknya Ki Marja meninggal dunia, maka Bapak dan dua saudaranya jadi anak yatim yang bergelut dengan kesulitan hidup. Setelah dewasa beliau mufakat dengan kakak kandungnya akan merantau mengadu nasib ke Pulau Sumatera. Beliau waktu itu diperkirakan berusia 23 tahun karena sudah 5 kali kena kuli Blasting zaman Belanda. Sebelum berangkat beliau menyiapkan bekal diri menemui sesepuh dan berziarah ketempat makam leluhurnya.

Setelah melaksanakan kuli Blasting terakhir di Simpang Jalan kerata api ke Cikadeun yang Ego lihat di tugunya tertulis tahun 1911. Sesudah kuli ini kata Wak kakak kandung Bapak mereka berangkat mengikuti rombongan Juhara Muda dari Banten menuju Lampung. Para perantau ini menuju Lampung tidak satu kapal ada yang naik perahu layar, biduk, Kapal KPM dan sebagainya. Sesuai dengan perjajian mereka di Lampung kontak kembali, dari Panjang Teluk Betung mereka menyebar mencari kerja, hasilnya selebih kebutuhan mereka kirim ke Kampung Halaman. Setelah setahun di Lampung Wak Sarban kakak Bapak pulang ke Banten. Bapak mengikuti rombongan ke arah Sumatera Selatan Palembang. Secara estafet tiap kota sepanjang jalan kalau ada pekerjaan mereka berhenti. Akhirnya beberapa tahun kemudian sampai di Kertapati.

Setelah beberapa bulan di Kertapati dan sekitarnya sebagian rombongan kembali ke Prabumulih menuju Lubuk Linggau. Safari ini jalannya tidak mulus, masih mencari kerja sepanjang jalan, bila ada yang membutuhkan tenaga mereka akhirnya sampai di Muara Saling akhir stasiun kereta api. Di Lubuk Linggau mereka tidak lama terus menuju Curup Rejang. Sampai di Curup tahun 1916. Di Curup Rombongan mendapat pekerjaan untuk pertama kalinya di Dusun Air Rambai yaitu menebang dan membersihkan sampai ke akar sebatang Karet Alam yang rimbun lagi angker yang terletak di lokasi Mesjid Air Rambai sekarang, yang mengupah mereka Bapak masih ingat yakni H. Jabar. Setelah kurang lebih setahun menyebar di Curup dan ada juga bermukim menetap di Talang Benih, Talang Gambir dan lain-lain.

Rombongan kawan Bapak terus ke Lebong tujuan terakhir. Ke Lebong ini antara lain Wak Enjong, Gapur, Bapak Sadiman, Suami Bibik Lawik, Bapak Pi I dan lainnya Ego lupa.

Ibu bernama Masinah berasal dari campuran suku Rejang dan Serawai, Ibu adalah anak pertama dari H. Sabri ><>

Pada suatu ketika sekitar tahun 1918/1919, waktu Nenek membawa gerobak sapinya menjual hasil bumi ke Pasar Muara Aman, bertemu dengan Bapak sedang mencari kerja, sedangkan Nenek membutuhkan tenaga kerja upahan membuat siring dan menebas sawah di seberang Ngeai yang sering tak dapat air sesudah berunding cocok mufakat Bapak ikut ke Semelako dan menginap di Semelako menurut kebiasaan bapak, beliau menginap di Surau/Mesjid malamnya., ini menurut cerita Wak Bapak Deng pada Ego, ketika itu Wak ini mulai buto/rabun. Menjelang selesainya pekerjaan dengan Nenek itu, Bapak mendapat cobaan pertama, di tengah sawah itu datang tiga orang saudara mengancam Bapak agar berhenti bekerja kalau tidak akan dibenamkan di siring galian Bapak itu. Mereka mengatakan, mereka dirugikan bias-bisa sawah mereka yang akan kering, jawab Bapak saya orang upahan sesuai dengan petunjuk yang saya kerjakan, ancaman itu tidak Bapak perdulikan, terus bekerja, kata di antara tiga orang itu biarlah nanti! Betul ketika Bapak pulang sorenya, Bapak dihadang tiga orang itu di tengah padang karet alam di perjalanan pulang. Dengan gaya silat mereka dengan pedang terhunus meyuruh Bapak berhenti dengan kasar, jawab Bapak jangan saya tidak bersalah, kalau saya yang mati sendirian perantau dari Banten, tetapi pasti di antara kalian ada juga yang mati, beliau mencabut golok Cibatunya sambil mengibas tangan kirinya hinga luka berdarah tetapi setelah beliau semburkan dengan air ludahnya luka dan darah itu kelihatan hilang oleh mereka itu. Melihat itu mereka mundur yang akhirnya berbaik sampai tua.

Habis kerja dengan Nenek itu Bapak ditawarkan lagi pekerjaan pada Nenek Prayon adik Nenek yang berlokasi di Ulu Pasir Lebar untuk membuat pematang kolam dan siring sawah dan selam pekerjaan belum selesai di suruh menunggu pondok talang Nenek itu, sebenarnya tempat itu masih sepi dan agak angker, bagi bapak hal itu tak jadi persoalan asal upahnya damai dan bahan makan ditanggung. Sesuai dengan kebiasaan sehabis Magrib beliau zikir dan mengamalkan budaya Banten berbulan beliau bekerja di sini cuma sekali-sekali pergi kontak dengan kawannya di Pasar Muara Aman.

Akhirnya ada mufakat agar Bapak sekaligus mengolah sawah, kolam ikan, ternak dan lain-lain dengan cara bagi hasil. Karena Bapak orangnya jujur, taat, berani, rajin bekerja keras dengan fisiknya kokoh kuat dan sehat ini menarik perhatian kaum kerabat Nenek. Menjelang tahun 1921 nenek merencanakan akan menunaikan ibadah haji bersama keluarga dan putri bungsunya sedangkan empat orang putra putrinya yang lain baru Ibu yang dewasa, akhirnya mereka mufakat menjodohkan Bapak dengan Ibu dan dinikahkan akhir tahun 1920.

Sebelum Nenek berangkat naik haji, waktu itu makan waktu setengah sampai satu tahun, sepeninggal Nenek naik haji itu semua beban tanggung jawab pekerjaan menunggu rumah memelihara ipar ada di pundak Bapak menurut cerita Ibu. Sepeninggal Nenek berjangkit wabah cacar di antaranya Pamanda Ismail terkena sangat hebat Bapak dan Ibulah merawatnya siang malam dengan sabar. Setelah nenek pulang lahirlah Kakak Ego yang tertua yang oleh Nenek diberi nama Ilyas, sejak itu Bapak tidak dipanggil namanya lagi tetapi dipanggil Pak/Tiak Lias.

Waktu berjalan terus adat masih berlaku bertahun-tahun usaha kebun dan ladang masih bergabung dengan Nenek setelah anaknya bertambah dibangunlah rumah sederhana, oleh penduduk disebut gerbong di belakang rumah Nenek. Sejak itu Bapak dan Ibu mulai membuka lahan kebun, ladang sendiri. Anak mulai membesar dan bertambah banyak sudah enam orang, walaupun dengan kerja keras belum menampakkan hasil kecuali untuk dimakan, keluarga kami ini cukup memperihatinkan. Cerita Kakak nomor tiga bahwa dia hampir tiap hari berkelahi dengan anak penduduk lainnya karena secara sinis sering memanggilnya Anak banten Jawa Beret, dengan ini jelas kedudukan social kami masih dianggap rendah, paling-paling yang membela Kakak-kakak itu bila bergaduh adalah Nenek Haji Sabri yang kedudukannya dihargai orang yaitu Garim di mesjid Semelako.

B. RIWAYAT PERJALANAN HIDUP

Ego adalah putra keenam dari Bapak dan Ibu, Bapak dan Ibu mempunyai dua belas orang anak kandung, tetapi yang hidup sampai berketurunan hanya enam orang. Dalam kedudukan ini Ego menjadi putra ketiga.

Periode I 1933 – 1943

Ego lahir bulan Mei 1933 di Semelako data ini di ambil dari peninggalan tertulis di Batu nisan Kakak Ego yang keempat yang bertanggal 19 Desember 1933, menurut orang tua ketika itu Ego pandai merangkak usia 7 bulan dan sedang membuka ladang di Lekok Air Siamang. Masa bayi tahun 1933 – 1936 kehidupan Ego ikut menderita sebab mata pencarian orang tua masih berladang darat secara tradisional di tengah hutan belukar. Setiap hari Ego digendong ke ladang, kalau Kakak-kakak tidak dapat mengasuh maka Ego dibaringkan saja di pondok, kadang-kadang waktu pekerjaan sangat banyak diajak menginap di pondok sederhana di tengah ladang dikelilingi hutan yang berbukit. Kakak-kakak yang sudah agak besar tinggal di dusun karena mereka sudah belajar mengaji, sekolah belum ada zaman itu di dusun. Siang mereka membantu orang tua masak atau merumput sekitar pondok, ini berjalan sampai tahun 1935 ketika adik Ego anak ketujuh lahir.

Sesudah panen ladang tahun 1935 orang tua tidak menginap di ladang lagi. Orang dusun mulai membuka lahan persawahan. Awal tahun 1936 Bapak ditawarkan oleh seorang penduduk bernama Mur Pak Jupur agar mengambil dan membuka lahan di sampingnya di Danau Sebekoa, lahan ini terdiri dari rawa dan pungguk darat belukar berpenghuni ular, biawak, kera hitam (Cigok), kera merah (Sipei) dan kera abu-abu (Beei) yang sering menggangu padi Mur. Untuk penariknya Mur membagi sepotong lahannya yang sudah terbuka kasar, tawaran Mur itu diterima Bapak dengan senang hati. Setelah mengurus keizinan membuka lahan dibantu Mur juga sebagai saksi Bapak langsung mulai membersihkan sepotong lahan dari Mur dan menambahnya beberapa meter ke lahan baru untuk beliau. Lahan sawah ini sangat subur, tahun pertama akhir tahun 1936 itu panen memuaskan cukup untuk dimakan satu musim.

Habis panen Bapak menebas/menebang kayu belukar tanah darat sehingga monyet-monyet penghuninya bubar berpindah tempat, di atas sebuah pungguk Bapak dirikan pondok besar seperti rumah bertiang yang tingginya 2 meter, semua gundukan pungguk itu Bapak buka menjadi kebun sayuran kacang, mentimun dan sebagainya yang dapat dijual ke Pekan Embong Panjang. Akhirnya punguk-punguk itu ditanam dengan pohon kelapa dan buah-buahan.

Akhir tahun 1937 Ego sudah ingat bahwa Bapak pulang sendirian ke Banten. Sepulangnya Bapak membawa kue Gomlong /ketan tumbuk, emping Baguk, buah-buahan Rambutan besar-besar, mangga, jambu Mentega yang masih langka di Semelako masa itu, selain itu beliau membawa kawan Mamang bayun namanya, sepulang dari Banten itu secara bertahap tak henti-hentinya Bapak bekerja, kadang-kadang bersama Mang Bayun, Ego ingat Bapak membuat siring yang dalam, yang sambil bekerja menangkap belut dan ikan Puyu, Ego bersama Kakak nomor lima memungut belut dan ikan membawanya ke pondok.

Akhir tahun 1939 semua lahan sudah jadi sawah, kolam ikan tempat itik/bebek berenang setiap hari kami menangkap dan makan gulai ikan dan lalap kacang muda pokoknya apa yang bapak bawak dan makan kami adik beradik makan juga. kami yang masih agak kecil menginap bersama orang tua di sawah, empat orang Kakak malam menginap di dusun karena harus mengaji/belajar agama, keberhasilan usaha Bapak ini tahun 1940 awal, beliau mulai mendirikan rumah baru kami di dusun yang masih tegak sampai sekarang, sejak rumah kami selesai kami tidak menginap dipondok sawah lagi tetapi hampir tiap hari kesawah memelihara ayam, itik, kolam, kerja Ego bersama Kakak nomor lima mancing, mencari telur burung Sawah, memulut menagkap pipit, menjerat burung Sawah, waktu itu kami adik beradik masih hidup 7 orang,

Tahun 1940 Kakak tertua berangkat sekolah Madrasah ke Banten, tidak lama akhir tahun 1941 beliau dunia di Banten, tahun 1941 itu sudah ada sekolah Madrasah NO/NU di Semelako gurunya orang Jawa bernama Raden Sahdi yang dipanggil Guau Jawai, Ego disuruh Bapak masuk sekolah belum mau.

Tahun 1942 terjadi gempa bumi yang dahsyat di Lebong yang banyak merobohkan rumah penduduk, Guru Jawai pulang ke Jawa, mungkin karena Jepang akan masuk ke Indonesia, Guru Jawai tak kembali lagi. Sekolah itu selanjutnya diambil alih oleh Jepang Ego juga disuruh masuk sekolah belum mau, maka Ego dibebani tugas lebih dari kaka dan adik yang sudah sekolah.

Hampir setiap pagi disuruh mendahului ke sawah membuka kandang ayam dan itik dan menghalau burung makan padi sawah, Ego merasa bosan tiap pagi basah, gatal kena daun padi di sepanjang jalan ke sawah, akhirnya Ego membangkang tak mau mengerjakan pekerjaan itu lagi, apa lagi pakaian harian sudah sobek-sobek penuh tempelan dengan getah karet alam.

Awal tahun 1943 keadaan bertambah sulit, Kakak nomor tiga masuk tentara Kiogun Jepang di Lais terus ke Lahat, Kakak nomor dua perempuan tak leluasa keluar, Kakak nomor lima sekolah Jepang kerja berbaris berkebun, padi di lumbung diambil paksa oleh Saidan suruhan Jepang. Makan mulai terbatas, ada kalanya Ego terasa lapar nasi tak ada, maka apa yang dapat dimakan, dimakan yang sering membuat perut sakit, akhirnya ayam, itik dijual, kolam ikan mas dikeringkan, keadaan dipersawahan sepi, rumput mulai tinggi, babi hutan mengganas, orang banyak dibawa Jepang untuk Kuli, tenaga kerja upahan sulit dicari, maka sawah banyak terbengkalai. Bapak tidak ke sawah lagi tetapi tiap hari ke hutan mencari hasil hutan yang bisa ditukar dengan beras. Kadang-kadang Bapak menginap di pondok orang membantu merumput, menyadap Aren yang dibayar dengan gula merah, gula itu dibawa Ibu ke Pekan di tukar dengan beras.

Kemudian Bapak kembali ke kebun lamanya di Penutuk membuat pondok dan menyadap Aren, Egolah yang paling sering mengawan dan membantu kerja Bapak dan menginap di pondok tidur berselimut kulit kayu yang dirayapi Tumo Putih yang bikin kulit kudis koreng yang melanda hampir semua orang zaman itu. Pada waktu istirahat sebelum tidur Ego diajarkan Bapak ilmu Banten dan agama satu persatu harus dihafalkan.

Periode kedua 1944-1952

Waktu pulang ke dusun walaupun keadaan sulit kawan-kawan pada sekolah semua, Ego merasa malas ke pondok dan menyatakan mau sekolah juga. Malam-malam Bapak pergi ke rumah kepala sekolah untuk memasukkan Ego mulai sekolah, besoknya Ego mulai masuk sebab sekolah sudah mulai berjalan beberapa waktu, Ego datang ke sekolah tidak diantar, sesampainya di halaman sekolah ada rasa takut pada guru dan malu pada kawan sebaya yang barisannya ada di kelas II dan kelas III, Ego ingat pakaian Ego agak kependekan bahannya dari Cit (Cita) jenis agak tebal, pakaian Ego sering ditarik kebawah. Setelah masuk kelas oleh guru bernama Uyup Ego disuruh duduk di belakang sekali, karena Ego termasuk anak yang besar badan dan usia sudah masuk 11 tahun.

Setelah sekolah Ego rajin dan dapat cepat mengikuti pelajaran terutama berhitung menghafal kali-kali membaca dan menulis Ego sering belajar dengan kawan bernama Bakek murid kelas II dan pada Kakak Ego sendiri sudah kelas III, pada akhirnya Ego termasuk anak yang pandai, di kelas kami apa bila ada pelajaran dikte hitung, mencongak pasti Ego ikut menunjuk jari/angkat tangan. Kepandaian Ego ini terbukti waktu kenaikan ke kelas II Ego mendapat juara nomor 1 yang mendapat hadiah pinsil batu (Gref) waktu itu Ibu hadir bersama orang tua kawan yang lain. Kami adik beradik sangat senang apalagi Ibu yang disebut-sebut anaknya juara nomor 1, Ego masih ingat sepulang sekolah pada masa itu kalau orang bertemu menyebut merdeka-merdeka. Jepang sudah kalah, tetapi masih ada orang berperang di Taba Renah. Orang kita katanya banyak tak mempan karena dilindungi Kermat Lebong.

Sekolah berjalan tambah baik gurunya tambah 2 orang yakni guru Thaher dan Semidik, kepala sekolah A. Munaf Gusti. Waktu kenaikan ke kelas III Ego mendapat juara nomor 2, Ego menyangka Ego tetap nomor 1, dalam hati Ego protes dirasakan ada pilih kasih guru terutama selama ini nyata guru Thaher menganak emaskan juara nomor 1 itu. Karena merasa kecewa dan tak puas Ego mengajak beberapa kawan pindah sekolah ke SR lokasari Muara aman. Sekolah ini mempunyai gedung yang bagus bekas HIS zaman belanda dan satu-satunya sekolah penyelenggara ujian akhir kelas VI.

Mulai awal tahun ajaran 1946 Ego berpisah dengan orang tua sebab jarak Muara Aman – Semelako 10 km waktu itu cukup jauh tak bisa diulang karena belum ada kendaraan kecuali gerobak sapi, waktu mulai masuk sekolah Ego diantar oleh Wak Imam Tajak sambil memasukkan anaknya Aliamar, sementara oleh Wak itu kami dititipkan bergabung dengan Syafei anak Semelako juga yang tinggal di rumah Mak Ijah bertempat di samping sekolah. Beberapa hari kemudian bapak datang menjemput Ego kemudian dititipkan dirumah Bibik Sawjah berasal dari Banten. Di sini Ego tidak kerasan kecuali tempatnya jauh dari sekolah dan orangnya sangat sulit, kemudian Ibu datang memindahkan Ego ke rumah Jamil sanak Ibu seorang pegawai berasal dari suku Serawai Manna. Di sinipun Ego tak kerasan karena sering disebut Urang Jamil artinya Pembantu atau Babu Jamil. Akhirnya Ego cari rumah sendiri bergabung bergabung dengan beberapa teman mengongkos sebuah rumah besar, masing-masing membawa beras 5 liter tiap bulan untuk ongkos, rumah itu terletak di dusun Muara Aman. Kami di rumah ini lebih dari 10 orang, umumya sudah besar-besar kelas V dan VI Ego masih kelas III, walupun masih SR tapi badan dan usia kami waktu itu sama dengan anak SLTP/SLTA zaman sekarang, semua masak sendiri, yang terdiri dari beberapa kelompok anak-anak orang mampu, bahan makanan, kayu apai dikirim sepenuhnya oleh orang tua mereka dari dusun melalui gerobak sapi. Ego bersama beberapa kawan setiap setengah bulan membawa beras 5 liter tambah garam bungkah dan sedikit uang untuk sayur, kami kecuali baru datang dari dusun kami cari sendiri, terutama mancing ikan alam yang masih banyak waktu itu, kalau hasil mancing kami banyak kami belah-belah dijemur jadi ikan kering. Sayuran kami cari genjer, kangkung, selada air di sawah atau minta di kebun orang yang boleh diminta. Sekali-sekali ada orang tua kirim sambel, atau cabe kering giling, kayu api kami cari di pematang sawah dan pungguk-pungguk sawah orang.

Di rumah kami belajar dengan baik tak boleh ribut, di kelas sejak kelas III sampai dengan kelas IV Ego selalo dapat renking nomor 1 sebab saingan banyak terutama anak-anak guru. Waktu Ego kelas V tahun 1949 terjadi kles kedua anak-anak dijemput orang tua pulang ke dusun masing-masing dan ikut mengungsi ke kebun-kebun dan sebagainya. Kakak nomor lima sekolah di Madrasah dan tinggal di asrama di dusun Muara Aman juga, Kami tidak dijemput orang tua tetapi pulang juga ikut anak lain yang dijemput orang tua mereka dari Semelako, dapat ditambahkan Kakak Ego nomor lima ini orangnya taat, pengalah dan pada tahun 1948 pernah kena penyakit cacar yang hebat tak disangka nian hidup, pada waktu mengungsi beliau ikut Tentara Hitam sebagai pelajar, pada hari penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada RI tahun 1949 Tentara Hitam dan para pelajar ini berkumpul di Muara Aman, Pasar sangat ramai, Tentara Hitam kawanya menyetop mobil Tuan Belanc komandan Polisi pada masa Belanda yang mau ikut pindah, Tentara Hitam bersama Kakak dan Kawan-kawannya naik, sebelum mereka siap duduk di atas mobil pick up itu mobil sudah melaju banyak berjatuhan, Kakak jatuh dan meninggal dunia, mayatnya diusung dari Rumah Sakit Muara Aman oleh keluarga kami ke Semelako, keadaan sangat menyedihkan tidak ada yang mengurus urusannya Tentara Hitam balik ke Kesatuannya, Tuan Belanc ikut konvoi Belanda.

Sesudah penyerahan kedaulatan itu kami anak sekolah Muara Aman dipanggil agar masuk sekolah kembali dan duduk di kelas semula. Setelah sekolah berjalan setengah tahun oleh kepala sekolah Yuzir Ahadin diadakan ujian lokal, bagi anak yang pandai dinaikan ke kelasnya setingkat. Ego dinaikan ke kelas VI menjadi sekelas dengan Bakek dan Aliamar dan lain-lain. Pada akhir tahun ajaran 1950/1951 kami ujian negara bersama, tidak banyak yang lulus mendapat nilai masuk SMP tetapi semua mendapat Ijazah. Di Muara Aman dan Curup belum ada SMP Negeri. Di Curup hanya ada SMP Taman Siswa dan KPKPKB sekolah Guru/kursus yang menjadi cikal bakal SGB sebagian besar kawan berangkat keluar mencari SLTP ada yang ke Curup, Bengkulu, Palembang, Lampung, Padang bahkan ada yang ke Jawa atau Yogyakarta.

Keadan Ekonomi orang tua sebenarnya tak mengizinkan tetapi Ego memaksa masuk STP 2 tahun di Bengkulu bersama Bakek, Aliamar dan Idris. Di Bengkulu kami menyewa rumah Andung Itam Sumur Melele. Dan kami membawa beras untuk 2 sampai dengan 3 bulan dan masak sendiri. Bengkulu waktu itu masih sepi dan masih bagian dari Sumatera Selatan. Kayu api kami ambil ranting kayu Aru di Pantai Panjang dan sempat menangkap udang kepiting terdampar di belakang Kampung Kapiri, ketika pasang surut. Sekolah berjalan baik, di semester pertama Ego tetap mendapat rengking bahkan bagian Praktek mengikir dan membubut Ego juara 2 sudah mencapai nomor urut hasil kerja nomor 16 yang lain masih ada yang nomor 6.

Menjelang kenaikan kelas Ego tak dapat kiriman uang dan beras tiap hari menunggu mobil dari Muara Aman akhirnya datang Kak Mansur dan Amer pedagang beras dariSemelako mengatakan dia tidak membawa kiriman apa-apa dan kalau mau pulang serempak mobil mereka saja (truk), mungkin kasihan Amer dan mansur beri sedikit uang pada Ego, akhirnya Ego pamit ke sekolah dan pulang mengikut mereka ke Semelako. Sampai Semelako ternyata musim Paceklik orang tua tak punya apa-apa jangankan beras untuk dimakanpun saban hari masih dicari. Ibu mencoba mau pinjam pada Paman yang berada, dahulunya mulai berdagang pinjam uang Gelmor (uang Belanda dikasih kuping untuk liontin) pada Ibu yang belum dikembalikan, uang itu memang warisan dari Nenek, jawab Paman itu sangat sinis, “Uang tidak ada, itulah tidak potongan kita menyekolah anak kain kamu orang, kenyang belalang seekor”, kata Ibu bagaimana buah kalung saya? Jawab adiknya itu “Tak ada lagi sudah habis yang kamu ambil dari utang dagang saya selama ini”, pikir ibu masa habis sekadar hutang garam ikan asin dan minyak tanah, dirasakan hanya beberapa kali saja. Ibu pulang menangis dan mengatakan lebar buah kalung saya dari Bapok (maksudnya pemberian Nenek), melihat itu Ego putuskan tidak kembali ke Bengkulu dan putus sekolah.

Walaupun sedih Ego tak berlarut-larut, merasa bahwa Ego sudah besar, Ego minta pada orang tua lahan untuk berladang darat karena mulai musim tradisi orang dusun waktu itu 6 bulan ladang darat dan 6 bulan bersawah. Waktu itu sebenarnya belum ada anak bujang berladang darat sendiri meskipun demikian jawab Bapak “Lahan ada, besok kita lihat”. Besoknya Ego diantar Bapak ke Padang Bambu Kapar yang besar-besar, Ego setuju, Ego mulai ambil hari pada kaum kerabat. Hari pertama Ego membawa 5 orang jadi 7 orang termasuk Ego dan Bapak. Cikal bakal lahan cukup luas, karena sudah ada yang terang terbuka, besok dan selanjutnya Ego kerjakan sendiri, sekali-sekali dibantu oleh Bapak dan Kakak Ipar. Banyak ucapan sinis waktu itu yang Ego sendiri dengar yang maksudnya tak mungkin ladang itu jadi. Selesai tebas tebang, sesudah kering kami bakar bersama Bapak, untung pembakaran itu mutung, artinya kayu bambu bambu bersih dimakan api dan kebetulan haripun hujan. Setelah membersihkan ala kadarnya Ego ajak orang gotong royong menugal padi yang akhirnya Ego membalas harian mereka kerja secara berguyur.

Padi hidup dengan subur tetapi rumput tunas bambu/rebungpun tumbuh dengan subur, Ego tiap hari bergelut dengan rumput dan tunas bambu, bermiang yang sangat gatal seolah-olah rumput ladang itu tak terkejar oleh Ego, sekali sekali Ibu, Ayuk dan Famili ada yang membantu rumput tahap pertam selesai ucapan sinis mulai berkurang padi hidup subur kurang lebih 1 seperempat hektar, Alhamdulillah akhirnya panen mendapat padi kurang lebih 75 getul atau 1,5 ton beras, selam berladang itu meskipun letih malamnya Ego diminta bekas guru mengaji Ego H. Hasan membantu mengajar anak-anak di Jus Amma dn bila anak-anak sudah pulang kami guru bantu diajar oleh H. Hasan masalah Tajuit, Tauhid, Fiqhi, Tafsir.

Selesai Panen sebagian padi / beras Ego jual untuk membeli kain Plikat, baju dan lain-lain yang cukup bagus menurut pemuda dusun. Ego mulai dipuji sebagai contoh. Kemudian Ego mulai lagi turun ke sawah menggarap sawah Paman Ismail dengan perjanjian berbagi hasil. Sebagian padi Ego untuk kami makan bersama orang tua dan adik-adik dan sebagian untuk modal bersawah bila diperlukan.

Periode ke 3 1953-1960

Waktu padi Ego mulai muar pertengahan tahun 1953 datang rombongan Mubaligh NO/Nu dari Pasar Muara Aman dan Embong Panjang mereka baru pulang Fakansi dari Kulyatul Mubalighin Semarang, waktu itu K.H.M. Amin Addary pengurus NU MWT Muara Aman datang, beliau mengatakan sesuai dengan informasi yang beliau dapt bahwa di Semarang ada Kulyatul Mubalighin dan Madrasah tempat menggodok kader NU untuk Calon anggota DPR, BPH bahkan Calon Bupati dan lain-lain. Beliau sarankan agar MWT NU Semelako jangan ketinggalan mengirimkan kader. Saran itu diterima ketua NU MWT Semelako waktu itu dijabat oleh Dulyahim Pak gasing, mereka mufakat mengirim seorang calon diambil dari guru-guru bantu mengaji dari pengajian NU. Akhirnya dengan beberapa kelebihan Ego terpilih. Biaya ke Semarang ditanggung NU, biaya makan di Semarang oleh orang tua, kekurangannya tiap bulan dibantu pengurus NU. Biaya sekolah di di Semarang gratis katanya ditanggung PB NU dan Wilayah Jawa Tengah.

Tanggal 16 juni 1953 berangkatlah Ego ke Semarang bersama rombongan anak sekolah kembali dari liburan bulan puasa, ada yang ke lampung dan ada yang ke jogja. Waktu berangkat itu kami diantar oleh pengurus NU dan penduduk dengan rabananya sampai Embong Panjang, terminal mobil waktu itu. Sampai di Curup menginap 1 malam subuhnya naik mobil AMDKA ke Lubuk Linggau terus naik Kereta Api, lancar sekali, sore/malam sudah sampai Tanjung Karang, besoknya naik Kapal KPM Panjang – Pasar Ikan Tanjung Periuk. Besoknya lagi naik kereta Gambir – Jogja dan Semarang. Ke Semarang Ego sendiri, ke jogja 4 orang, kami berpisah di Cirebon, kami berangkat sore, paginya Ego sampai Semarang menuju Masjid Agung Semarang di lolaki Perumahan belakang Masjid ada pengurus Asrama namanya M. Lintang keturunan Arab.

Setelah menyerahkan Mandat Ego diberi sebuah bantal dan sehelai tikar dan diantar petugasnya ke Asrama Kampung Melayu dan tempat belajar Madrasah, kamar bagian bawah masih banyak terkunci karena penghuninya belum pulang dari libur puasa. Ego disuruh naik membawa tas, tikar dan bantal ke atas melalui tangga papan yang sederhan. Di atas Ego lihat gulung kasur, tikar, bantal, berderet yang tak ada penghuninya, Ego disuruh mencari tempat yang masih kosong untuk membentang tikar. Karena mengantuk, capek dalam perjalanan Ego langsung tidur, baru ada Bang Lohor Ego terbangun, badan Ego basah keringat hawanya sangat panas, Ego turun mandi ke sumur terbuka bagian bawah, di situ sudah ada orang mandi pakai celana dalamnya Ego tiru saja caranya menimba air tetapi tak mau penuh dalam tembo, salah seorang mengajar Ego menimba. Selesai sembahyang Ego keluar asrama mencari makan, ada yang menunjuk lokasinya tidak jauh dari asrama itu. Waktu makan terasa sayurnya manis manis minumannya teh manis berbau bunga harum yang bukan kebiasaan Ego orang Sumatera. Ego minum juga dan minta air putih segelas lagi. Waktu membayar harganya murah walaupun cara orang jawa air putihpun membayar. Beberapa hari kemudian penghuni berdatangan dari segala penjuru tanah air yang bahasanya Ego tidak mengerti. Ada yang baru datang dari Sumbawa katanya, membentang tikar di samping Ego.

Akhirnya sekolah berjalan, gurunya sebagian besar mahasiswa Mubaligin itulah. Rupanya sekolah kami itu kelinci percobaan bagi mahasiswa Kulyatul Mubaligin. Pelajarannya kadang-kadang Ego tidak mengerti sama sekali, seperti Nahu saraf Bahasa Arab. Ego mulai gelisah tak kerasan, apa lagi keadaan asrama panas dan kekurangan air untuk mandi. Kegelisahan Ego sama dengan dirasakan anak Sumbawa sekelas dan berdampingan tempat tidur itu. Satu setengah bulan berjalan anak sumbawa itu menerima surat dari kawannya di Solo siswa Madrasah Al Irsad Solo. Anak Sumbawa ini cakep walaupun masih muda orangnya besar tinggi, mendengar pembicaraannya pintar atau cerdas, dia panggil Ego “Han”. Menjelang akhir bulan kedua di tempat tidur dia panggil Ego “Han”, katanya “Angkau tahan meneruskan sekolah di sini, jadi anak kelinci kurang makan?”, “Entahlah” jawab Ego, “Kalu aku akan lari akhir bulan ini, nanti paling-paling dipecat tidak jadi kader NU, melihat biaya di Jawa ini murah, barang kali orang tua kita kuat kalau kita hemat” katanya. Ego tanya “Kamu mau lari ke mana?”, “Ke Solo” katanya “Ini surat kawan saya dari Sumbawa di Solo, di situ nanti kita cari sekolah NU supaya orang tua kita tidak dipecat NU”. Pendapatnya masuk akal Ego sebab status kami yang dikirim ke sana sama. Ego pun sebenarnya sudah merencanakan keluar mencari KPKPKB sekolah guru mendapat ikatan dinas yang cukup untuk keperluan hidup perbulan. “Kalau tak ada di Jawa pulang saja ke Curup / Bengkulu” kata anak Sumbawa itu “Kalau Han mau kita serempak menuju kawan saya” katanya.

Setelah Ego pikir beberapa hari Ego sampaikan padanya “ Jadi, kita pindah, tapi tidak lari!” “Bagaimana caranya?” katanya “ Lihat Pak Najib ketua Asrama itu galak betul”, “ Kita pamit sebelumnya waktu subuh tas kita, kita titip di Mesjid yang ada di samping asrama itu”. Akhir Agustus 1953 Ego pindah ke Solo. Di Solo sementara mencari sekolah dan tempat kos kami menumpang tempat kawannya dan makan di warung tempat kos itu juga. Tak lama Ego dapat masuk SMP 1 NO/NU di samping mesjid Lawetan Solo dan tempat kos di Tamtaman Jero Benteng yang jauh dari sekolah. Ego minta masuk kelas II dan prioritas pakai celana panjang di SMP itu yang akhirnya sering dimainkan siswa lainnya katanya “Pak Guru”.

Sekolah berjalan lancar pelajaran umum dan agama dapat Ego ikuti dengan baik dua tahun kemudian Tahun Ajaran 1955/1956 Ego ikut ujian sekolah, lulus dan dapat ijazah nilai rata-rata 7. Ego mencari sekolah NU/kelanjutan sekolah itu di Solo tak ada, akhirnya dari pada tak sekolah Ego masuk SMK Bag. C kepunyaan Muhammadiyah Solo, sekolah ini sebenarnya termasuk sekolah baik lulus ujian negara. Setelah dua bulan heboh kawan-kawan di Jogja dan menyampaikan ke Dusun Ego keluar dari NU masuk Muhammadiyah, Datang surat dari orang tua agar keluar dari SMA C Muhammadiyah itu, cari sekolah lain asal tidak Muhammadiyah. Sementara itu ada informasi dari kawan yang pindah ke Malang Jawa Timur bahwa di Malang ada SLTA NU, Ego berangkat pindah ke Malang. Sampai di Malang informasi itu bohong yang ada semacam kursus yang muridnya belasan orang. Ego kecewa, tahun ajaran sudah berjalan. Waktu Ego ke cabang NU Malang bertemu dengan Pak Udan Danneli tokoh NU anggota DPR wakil NU beliau menyarankan agar Ego masuk SMA Taman Madia Malang, kebetulan beliau Guru Bahasa Indonesia di situ dan beliau membantu memasukkan Ego. Setahun di Taman Madia Malang ini Ego disuruh pulang liburan karena sudah 3 tahun belum pernah pulang, setelah terima raport kenaikan kelas Ego pulang. Waktu pulang orang tua dan sudara-saudara minta agar Ego mencari sekolah yang singkat untuk dapat pekerjaan. Akhirnya Ego putuskan tidak kembali ke Malang tetapi ke Solo lagi. Di Solo Ego masuk SGA Siswa kepunyaan Mangku Negaran, terpaksa masuk kelas I. Akhir tahun Ego ikut Ekstrane Ujian SGB kelas III Ego lulus lalu mendaftar masuk SGB kelas IV sekomplek dengan SGA, kepunyaan Mangku Negaran juga, dengan catatan Ego tetap di SGA kelas II akhir tahun 1957/1958 Ego ikut ujian SGB kelas IV dan SMP Bag. A keduanya lulus ujian negara dan Ego naik kelas III SGA. Tahun 1958 Ego pulang membawa ijazah SMP Negeri dan SGB kelas IV. Waktu pulang Ego katakan sebenarnya Ego sudah dapat bekerja dengan Ijazah SGB kelas IV sebagai guru SR atau dengan Ijazah SMP di Pemda tetapi kalau bisa Ego minta setahun lagi di Solo untuk ikut ujian SGA, dengan berat, mufakat Ego diperkenankan, akhir tahun 1958/1959 Ego ikut ujian negara SGA. Ego gagal, tak lulus, ternyata dari 2 kelas 75 orang siswa cuma lulus 3 orang memang sulit bagi SGA swasta untuk lulus ujian negara, bagi peserta ujian negara yang mendapat nilai 5,5 ke atas ditawarkan P dan K untuk diangkat jadi Guru SR dan diberi sertifikat. Banyak yang mengambil karena Ego sudah punya Ijazah SGB kelas IV nilainya sama, Ego tak mengambil. Ego pulang lagi ke kampung dengan tangan hampa tak ada perubahan. Tampaknya ekonomi orang tua tahun itu baik Ego nekat minta setahun lagi mengulang ke SGA di Solo, disetujui bahwa ini terakhir. Ego waktu itu sudah berusia 26 tahun, adik sudah ada yang berkeluarga dan sudah punya anak. Sekembali ke Solo Ego berusaha pindah sekolah ke SGA Muhammadiyah bersubsidi di Simpon Solo. Usaha ini berhasil tetapi diterima di kelas non subsidi, karena gurunya sama tempatnya sama dan ada beberapa guru dari SGA Negeri yang mengajar, Ego pindah masuk SGA muhammadiyah itu. Pertengahan tahun Ego dipanggil oleh Ruslan Abdul Hamid kepala SGA Muhammadiyah agar Ego pindah masuk kelas subsidi. Ego senang sekali sebab kecuali bebas bayaran dan fasilitas pekerjaan tangan dan sebagainya lagi pula optimis akan lulus. Pikir Ego masa bodoh omongan kawan dan NU sebab sejak Ego pindah ke Solo tahun 1953 sebenarnya tak pernah ada bantuan NU lagi. Dalam ujian negara 1960 Ego lulus dengan baik rangking III dari SGA subsidi tersebut. Ego kirim surat kepada orang tua bahwa Ego lulus dan minta ongkos pulang, jawab orang tua jangan pulang dulu kalau tak mau dibantai PRRI atau tentara pusat, cari makan sendiri beri alamat di mana berada kalau kami punya uang dan kesempatan tetap kami kirimkan. Pikir Ego ada dua alternatif, tetap di Solo berusaha jadi guru SR atau ke Banten ke kampung leluhur juga jadi guru SR. Sementara itu Ego jual sepeda, buku-buku dan pakaian amoh. Ego pergi ke Jogja menuju rumah M. Syafei yang sudah berkeluarga guru SKP dan beliau mahasiswa Fakultas Hukum Gama. Ego diterima dengan baik beliau menyewa rumah agak besar dan tinggal bersama adik perempuannya mengikuti kursus menjahit dan adik sepupunya laki-laki baru pindah dari Kediri, isterinya sedang tugas belajar PGSLP Jogja. Keluarga ini orang mampu, punya motor dan tiap orang punya sepeda dan sebagainya. Ego ditawarkan tinggal bersama mereka saja soal makan jangan dipikirkan katanya. Ego disuruh masuk sekamar dengan sepupunya.

Dua hari kemudian sambil dia akan kuliah Ego diajaknya bonceng sepeda motornya menuju PT Sanata Dharma beliau ambil belangko pendaftaran mahasiswa masuk PT itu, diberinya Ego untuk dibaca-baca katanya. Kemudian bonceng lagi ke Fakultas Pedagogik Gama di Bulak Sumur di sini ada papan pengumuman menerima calon mahasiswa baru untuk pertama kalinya dari SGA. Ego tertegun saja, beliau masuk ruang mengambil belangko pendaftaran dan diberi Ego. Kami pulang ke Malioboro, beliau terus kuliah dan Ego terserah katanya mau pulang atau jalan-jalan di Malioboro. Ego jalan-jalan sebentar terus pulang ingin membaca pengumuman dan belangko terima mahasiswa baru tersebut. Setelah membaca persyaratan masuk Fakultas Pedagogik itu Ego ambil kesimpulan ikut mendaftar dan ujian. Pada hari pengumuman hasil ujian, Ego pergi ke gedung utama Gama itu melihat pengumuman, Alhamdulillah Ego lulus diterima di jurusan KU sesuai permintaan. Ego sangat gembira dan bersyukur karena tak terbayang sebelumnya bahwa Ego dapat masuk Gama. Ego segera kabarkan pada orang tua rupanya orang tua dan saudara juga menyambut dengan gembira dan Ego mendapat wesel agak istimewa.

Periode ke 4 1960-1965

Pada pembukaan kuliah umum oleh Rektor Arjoto, Ego hadir, selanjutnya kuliah berjalan lancar. Setelah ujian semester pertama ada pengumuman penerimaan calon mahasiswa ikatan dinas dari Dep. PTIP. Ego juga ikut mendaftar dan mengisi beberapa belangko. Selesai mengikuti semester kedua Ego pulang walaupun keadaan di Muara Aman belum aman dari pemberontakan PRRI.

Waktu perjalanan pulang ini ada peristiwa yang mengesankan, merupakan bagian dari riwayat perjalanan hidup Ego.

Waktu akan membeli teket kereta di stasiun Tugu Ego agak terlambat datang, antrian sangat panjang sampai keluar. Ego masuk ke dalam mendekati loket kalau ada kawan yang dapat dititipi ternyata tidak ada kawan. Ego pandang orang yang antri bagian depan ada dua orang gadis satu berambut panjang terjalin. Tanpa ragu Ego mendekati dan menyatakan akan mengganti antri dan menanyakan berapa teket untuknya. Gadis yang dibelakang keluar Ego masuk. Setelah dia dapat tiket Ego pun menyusul dapat teket. Mereka sudah keluar Ego segera mengambil titipan sepeda menyusul karena belum menyampaikan ucapan terima kasih. Di perjalanan hampir keluar komplek stasiun mereka tersusul dan langsung mengucapkan terima kasih dijawab dengan senyum-senyum. Ego melaju dengan sepeda masuk jalan Malioboro. Entah besok atau lusanya Ego menuju Jakarta dan menginap di Tanah Abang. Karena takut tidak dapat teket kapal pagi-pagi Ego sudah pergi ke stasiun antri di depan loket. Perhatian Ego tertuju pada tas diletak di depan loket dan loket sendiri kalau dibuka. Calo mulai berdatangan mendekati loket waktu memandang ke belakang antrian sudah panjang terlihat Ego gadis yang menolong Ego di stasiun Tugu. Ego ajak ke depan dan menanyakan tujuan dan berapabuah teketnya, rupanya tujuannya sama ke Merak-Panjang. Setelah dapat karcis dia kembali ketempatnya menginap katanya mengambil tas. Ego masuk ke stasiun rasanya lama betul baru dia muncul, tak lama kemudian kereta datang dari stasiun Kota sudah penuh padat setelah berhenti, berebut naik di sini besar peran Ego asal dia bisa naik. Di atas KA penuh sesak kami bergeser mencari tempat yang aman tak sempat bicara sampai Merak. Di Merak sama-sama naik kapal pura-pura sudah kenal dia duduk di samping seorang ibu yang sudah agak tua, Ego titip tas Ego dekat tasnya Ego keluar ke atas. Sekali-sekali Ego kembali dia asik merenda tak juga sempat banyak bicara tetapi pura-pura sudah kenal sampai di Panjang paginya sama-sama turun dan antri lagi menuju KA. Di rel KA kami berpisah Ego minta alamatnya kemudian Ego naik KA dan dia menuju mobil ke Pring Siwu. Sesampai di dusun seperti biasa saudara-saudara dan kaum kerabat mengumpul. Ego ceritakan tentang harapan Ego agar dapat menyelesaikan pendidikan di UGM yang mendapat sambutan baik dari kaum kerabat karena satu-satunya dari keluarga besar kami baru Ego yang sampai ke PT atau UGM khususnya yang terkenal waktu itu. Waktu libur seperti biasa Ego tetap menolong apa kerja orang tua ke sawah atau ke kebun. Orang banyak sudah menghargai Ego seperti layaknya, berbeda dengan masa-masa yang lalu. Bahkan ada seorang menantang mau membiayai sekolah Ego dengan perhiasan emasnya tetapi dilarang oleh adik-adik. Habis masa libur Ego cepat kembali ke Jogja karena akan dan yudisium masal kenaikan tingkat sesuai kebiasaan UGM. Pada yudisium pertama bagi Ego naik ke tingkat kandidat dengan predikat amat memuaskan, dan pengumuman mahasiswa I.D Ego diterima menjadi mahasiswa I.D TMT 1 September 1961 karena itu uang kuliah th. 1960 dikembalikan, Ego tambah optimis dapat menyelesaikan study Ego.

Waktu pergi ke kuliah lewat depan RS Panti Rapih Ego ingat kembali pada nama Cl. Sumaryati (Tintin). Pada suatu ketika hari Minggu mungkin Ego datang ke asrama perawat mau menemui dia kebetulan ada tetapi lama sekali menunggu baru keluar. Dengan iseng-iseng Ego tawarkan mengajak keluar apa nonton? Ego lupa, tawaran diterima. Perkenalan dimulai – lama-lama surat menyurat – berbalas dan akhirnya akrab. Karena ada beberapa masalah maka jalannya makan waktu yang panjang, masalah Agama, masalah I.D nya sebagai perawat, kiriman misi dsb dari Ego sendiri kuliah I.D berjalan lancar hubungan berjalan lancar uang kiriman orang tua walaupun tak penuh seperti mahasiswa lain lancar pula. Atas saran Kak Syafi’e dan keluarganya yang baik kebetulan waktu itu beliau sudah kembali tinggal di rumah martuanya di mana Ego juga kos di situ. Ego berunding dengan segala strategi dan taktik pada tgl 15 Agustus 1963 setelah mengucapkan dua kalimah syahadat kami dinikahkan di KUA Kraton Jogja.

Nota bene setelah nikah kembali ke asrama perawat RS Panti Rapih dan Ego juga ke rumah tanpa ada acara/upacara apa-apa, sedih bukan? Setelah dia lulus ujian akhir perawat entah dari siapa peristiwa pernikahan kami itu diketahui oleh Muther dan Ketua Yayasan RS Panti Rapih yang diketuai oleh Pak Marcus. Ego dipanggil supaya menghadap beliau, Ego penuhi panggilan itu takut jangan ada apa-apa Ego ajak kawan akrab Ego waktu itu saudara Carmat Almarhum. Di perumahan dalam komplek RS itu terjadi dialog sengit yang berkesudahan kesimpulan Pak Marcus pertama Cl. Sumaryati dikeluarkan tanpa mendapat apa-apa dan wajib mengembalikan uang Ikatan Dinas selama 3 th lebih. Ego jawab dengan tegas singkat dikeluarkan oke dia sudah isteri dan tanggung jawab saya tetapi mengembalikan uang I.D tidak bisa sebab kami tak punya uang dan bila kami sudah bekerja nanti dan ada uang kami bersedia saja mengembalikan, tak lama kemudian Tintin keluar dari asrama dan tinggal bersama kami. Berhubung tempat kuliah jauh beban baru berkeluarga maka kami cari rumah sewaan yang sangat sederhana yang terletak di depan RS itu dan tak jauh dari tempat kuliah Ego di Bulak Sumur. Tak lama kami di rumah ini enatah bagaimana datang beberapa Suster dan seorang Pastur asal Belanda bernama Koylth semula Ego sangka mereka akan membicarakan uang I.D tetapi nyatanya tidak ahirnya dengan lembut mereka menawarkan agar Tintin bersedia bekerja di klinik RS Panti Rapih kembali dan boleh tinggal di luar sebab biasanya perawat yang I.D harus tinggal di asrama. Karena kesulitan, tawaran untuk bekerja itu diterima. Untuk Ego oleh Romo itu diberi buku dan catatan. Tintin segera mulai bekerja tempatnya dekat, kuliah Ego hampir selesai tiori berjalan lancar. Tintin mendapat beras, minyak tanah, sabun, odol dan uang lelah ala kadarnya.

Menjelang akhir bulan Desember th 1964 Tintin kesakitan Ego antarkan opname ke RS tsb pada jam 6 lewat, pagi kami mendapat kurnia pertama yang kami beri nama Dominantoro yang lahir pada tgl 31-12-1964. Putra kami ini mendapat prioritas titipan khusus anak-anak bayi di RS itu juga. Anak-anak bayi yang lain umumnya anak orang kaya/Cina berbulan tinggal siang malam sampai usia tertentu dengan bayaran yang cukup mahal, bagi putra kami khusus pagi kami masukkan siang sambil pulang kami jemput bawa pulang. Februari 1965 semua pelajaran tiori Ego selesai dan mulai menyusun skripsi. Waktu itu di UGM/IKP belum ada KKN tetapi harus mengumpul bahan skripsi melalui penelitian di lapangan, sebenarnya bulan Juli 1965 skripsi Ego selesai ditulis dengan tangan karena kesulitan mengupah mengetik agak tersendat.

Kontrak rumah kami habis waktunya atas kebaikan saudara Carmat Almarhum kami ditawarkan meneruskan kontrakan rumahnya di Pengok Kidul s/d Desember 1965. Awal September Ego masukkan skripsi untuk di uji, ujian tertunda terus rupanya dosen-dosen ada yang sibuk sehubungan dengan prolog gerakan 30 Sep/PKI bulan Oktober tidak ada ujian baru tgl 4 Nop 1965 Ego dipanggil mengikuti ujian skripsi. Waktu ujian harus pakai jas lengkap Ego mendapat kesulitan untung saudara Alinuddin baru pulang dari dusun membawa jas barunya lengkap yang dapat Ego pinjam. Waktu ujian anehnya penguji terdiri dari Dekan Drs. Sutrisno Hadi, MA, Sekretaris Fakultas Suprapto, M.Ed., Ketua Jurusan Vemberianto MA dan Penguji Utama Dra. Martini dan Pembimbing Ego Bpk. Drs. Bimowalgito. Sebelumnya belum pernah penguji selengkap itu, yang dipanggil ujian 4 orang Ego dapat giliran No.2.

Waktu ujian tidak banyak pertanyaan kecuali Ibu Martini masalah ralat ketik dan bahasa asing yang Ego pakai, jawab Ego bersedia meralat sebab memang mengetiknya bukan Ego. Akhirnya Ego langsung diyudisium oleh Dekan dinyatakan lulus dengan Baik dan diberi Hak memakai gelar Drs. Ego mendengar tepuk tangan meriah di belakang Ego rupanya banyak mahasiswa tertarik menonton karena pengujinya lengkap tadi. Ego disuruh memberi sambutan oleh Dekan. Selesai itu Ego disuruh keluar peserta No.3 masuk. Ego terus pulang menuju RS Panti Rapih. Klinik sudah tutup di ruang depan ada suster Yulia sedang bermain dengan Domi yang diletakkannya di atas meja pingpong untuk mengejar kunci yang beliau sereti. Sebenarnya suster Yulia heran mengapa Ego pakai jas yang tidak biasanya begitu. Tintin keluar langsung menanyakan bagaimana lulus katanya, Ego jawab dengan senyum ya. La kata suster mengapa tak memberi tahu sebelumnya kalau tahu Clem boleh perai untuk menonton dan memang hari ujian itu kami rahasiakan takut jangan tak lulus. Kata suster Yulia nanti saya sampaikan dengan Muther sebenarnya kalau sudah mau pulang kampung tak perlu menunggu akhir Desember sesuai perjanjian I.D. Kami pulang boncengan speda ke rumah, berkirim surat ke kampung agar dikirim ongkos. Waktu itu adik bungsu Basuni tinggal bersama kami dan baru mulai sekolah SMP Piri Jogja. Dalam surat orang tua mengatakan uang sudah dikirim tiga ratus ribu cukup untuk kami bertiga pulang. Kami tunggu-tunggu uang itu tak datang-datang sampai pertengahan Desember Ego jual speda dan lain-lain kami tak menunggu uang itu lagi diperkirakan ongkos cukup sampai ke Metro Lampung tempat ayuk Tintin. Setelah mendapat tambahan ongkos kami terus ke Dusun. Sampai di Embong Panjang menjelang Isa terpaksa menginap di rumah Jau. Besoknya kami disusul dari Semelako untuk membawa tas sebab waktu itu tidak ada kendraan penumpang masuk dusun.

Ego merasa bangga walaupun masih kerus seperti mahasiswa dapat pulang membawa isteri dan anak dan titel/ijazah PT waktu itu dari Semelako yang selesai baru dua orang sedangkan orang pertama sedang dalam tahanan karena terlibat G30S dari Pertindo. Sanak famili bangga pula, nama keluarga naik, istilah anak Banten Jawa Beret hilang dengan sendirinya hingga sekarang.

Tidak lama di dusun Ego berangkat sendiri ke Jogja mengurus uang ongkos kami yang belum diterima dan mengurus soal ingin bekerja cepat..........BERSAMBUNG

Tidak ada komentar:

Posting Komentar