Jumat, 16 September 2011

... Sesudah manusia diturunkan ke dunia, ...

"... Sesudah manusia diturunkan ke dunia, rohnya disatukan dengan tubuhnya, gema suara yang didengarnya di Hari Alastu itu terekam di lubuk kesadaran atau kalbu manusia. Gema itu dapat didengar kembali pada saat manusia mengalami krisis batin yang hebat, yang menyebabkan kerinduannya kepada Yang Satu timbul kembali..
Di antara krisis batin hebat itu ialah apabila manusia menyadari bahwa ia sebatang kara di dunia, merasa sunyi sebagai anak dagang yang berada di perantauan yang jauh, merasa terbuang dan terasing.
Kerinduan manusia kepada kampung halamannya di Hari Alastu itu, menurut Rumi, dapat melahirkan seni musik dan puisi bermutu tinggi.
Kerinduan mempunyai wajah ganda, riang dan sedih, atau campuran antara keduanya, dan ini merupakan asas semua seni.
Seni yang lahir dari keadaan rohani semacam itu dapat dijadikan sarana transendensi. Hal ini digambarkan oleh Rumi dalam mukadimah karya agungnya Mathnawi. Rumi mengibaratkan kerinduan manusia pada pengalaman mistikal primordial di Hari Alastu sebagai kerinduan seruling untuk bersatu kembali dengan rumpun bambu, yang merupakan asal usulnya, dan kerinduannya itulah yang merupakan sumber suaranya yang merdu:

Dengar lagu sendu seruling bambu
menyampaikan kisah pilu perpisahan Tuturnya,
“Sejak daku tercerai dari indukku
rumpun bambu naung dan rimbun
Ratapku membuat lelaki dan wanita mengaduh –

Kuingin sebuah dada koyak disebabkan rindu
Agar dapat kupaparkan kepiluan berahi cinta
Setiap orang yang berada jauh dari kampung halamannya
Akan rindu untuk merasakan kembali
Saat-saat ketika dia masih bersatu dengan-Nya
Dalam setiap pertemuan kunyanyikan nada-nada senduku
Bersama yang riang dan sedih aku berkumpul
Rahasia laguku tak jauh dari ratapku
Namun tiada telinga mendengar dan mata melihat

Tubuh tidak terdinding dari roh, pun roh
Namun tak seorang diperkenankan melihat roh.
”Riuhnya suara seruling adalah kobaran api
Bukan suara hembusan angin..."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar